Inspirasi atau Plagiasi

Idham Anantama Khalis
4 min readFeb 5, 2021

--

Menyadur dari sebuah teori dalam dunia pendidikan, yaitu Taxonomy Bloom atau Taksonomi Bloom ketika ditulis dalam bahasa Indonesia. Teori Taksonomi Bloom ini kerap dikenal dengan sebuah piramida yang memuat informasi berupa struktur hierarkis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan kemampuan berpikir dari tingkat rendah hingga tinggi.

Ilustrasi piramida Taksonomi Bloom model baru setelah revisi dari model sebelumnya.

Terdapat 6 tingkatan berpikir yang nantinya terbagi menjadi 2 bagian, yakni LOTS (Low Order Thinking Skill) untuk 3 dari bawah dan HOTS (High Order Thinking Skill) untuk 3 tingkat selanjutnya. Sederhananya, creating atau berkarya/berkreasi merupakan tingkatan berpikir tertinggi dalam teori ini.

Sejak zaman dahulu kala, nenek moyang kita/umat manusia sudah mampu berkreasi walaupun hanya berupa alat berburu sederhana yang dibentuk dari batu atau tulang belulang hewan purba yang mati terbunuh karena telah berani mengobrak-abrik kjokkenmoddinger sebuah anggota keluarga. Dari zaman ke zaman, era lama ke era modern manusia seolah berlomba-lomba untuk mewujudkan atau merealisasikan mimpinya agar menjadi kenyataan. Seperti halnya pesawat terbang, di mana pada zaman dahulu kala manusia hanya mampu bermimpi bahwa ia akan terbang ke langit yang biru. Tetapi, saat ini nyatanya tak hanya mampu terbang, namun dari waktu ke waktu ilmu & teknologi aviasi sudah sangat maju dan akan terus maju, serta berkembang dengan visi-misi yang lebih kompleks dari sekadar merealisasikan mimpi nenek moyang untuk melayang di atas awan.

Tak berhenti dari situ, menurut saya permasalahan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Di era saat ini seseorang tidak hanya berlomba-lomba untuk berkreasi, namun juga berlomba-lomba untuk mengakusisi atau mengakui karya orang lain yang telah ada sebelumnya secara sepihak. Hal ini kerap disebut dengan istilah plagiarisme. Jika ditarik mundur ke teori Taksonomi Bloom, tentu plagiarisme tidak termasuk pada klasifikasi HOTS atau tingkatan berpikir tertinggi karena dalam proses plagiasi tidak terdapat proses hierarkis seperti yang terilustrasi dalam Piramida Taksonomi Bloom di mana secara logika sebelum memahami suatu konsep, maka harus mengingatnya, menerapkan, menganalisis, kemudian mengevaluasi, hingga pada tahap tertinggi yaitu berkreasi/berkarya.

Dengan kata lain, di era modern saat ini semakin banyak orang yang tidak hanya berlomba-lomba berkarya, namun juga berlomba-lomba menjiplak karya orang lain berlapiskan ribuan dalih untuk menutupi kesalahannya, miris.

Dalam konteks ini, pembahasan tentang karya/kreasi akan spesifik pada kreasi seni karena latar belakang penulis yang bentuk dan tingkahnya rada nyeni. Dalam pandangan penulis, sebuah karya takkan pernah lepas dari 2 hal: inspirasi & plagiasi. Mari kita bedah satu persatu pengertian kedua kata tersebut.

Inspirasi, dalam KBBI online kata tersebut diartikan “ilham.” Kata “ilham” dalam kacamata spiritualisme merupakan sebuah petunjuk Tuhan yang datang dari hati, angan atau pikiran dari hati, dan juga sesuatu yang menggerakan hati/insan untuk mencipta. Dari sini penulis memetik sebuah pendapat bahwa inspirasi tidak datang dengan sendirinya, melainkan datang dari sebuah subyek maupun obyek yang menjadi sumber petunjuk/ide. Sedangkan plagiasi atau plagiarisme dalam KBBI online diartikan sebagai pelanggaran suatu hak cipta. Spesifik dalam dunia seni, Karl-Edmund dalam Kamus Musik (2009:162) mengemukakan bahwasannya plagiat (Lat. plagium) merupakan perampokan, penculikan. Berkembang sejak abad 18 di Perancis, istilah plagiat mengalami perubahan makna menjadi pencaplokan sebuah karya seni orang lain; penggunaan karya seni orang lain secara sepihak/tak berizin, entah dengan/tanpa perubahan, dan dideklarasikan/dinyatakan atas namanya sendiri.

Berbicara lebih jauh mengenai plagiarisme, kebanyakan negara di dunia telah melarang tindakan pencaplokan karya seni dengan sengaja. Tak terkecuali Indonesia yang cukup preventif terhadap plagiarisme. Di Indonesia, hukum yang cukup sering dibahas dalam konteks ini ialah mengenai Hak Kekayaan Intelektual. Hak ini merupakan payung yang cukup luas untuk memayungi tindakan plagiasi. Salah satu bagian penting dari Hak Kekayaan Intelektual adalah hak cipta, yang menurut Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak eksklusif di sini memiliki maksud, yaitu hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegang hak ciptanya. Pelanggaran yang cukup marak terjadi di Indonesia atas hak cipta ini adalah pelanggaran dalam hal Performing right (hak untuk pengumuman yang bersifat komersil) dan juga dalam hal Mechanical right (hak atas penggandaan).

Walaupun secara hukum entah sedikit atau banyak yang memayungi hal ini, namun nyatanya tetap saja masih banyak para pelanggar hak cipta. Contoh sederhananya adalah pelanggaran hak cipta lagu-lagu dalam bentuk kaset di pasar tradisional maupun modern, selain itu ada juga pelanggaran karya seni rupa modern berupa desain visual dalam bentuk file image yang dapat digandakan dan dideklarasikan atas namanya sendiri secara bebas di internet tanpa izin. Selain contoh tersebut juga masih ada banyak lagi pelanggaran plagiarisme yang dapat dilihat secara kasat mata di manapun itu, entah dalam hal kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun dunia teknologi. Pelanggaran-pelanggaran tersebut ada dan terus terjadi seolah-olah seperti tak pernah terjamah dan terkesan terabaikan oleh hukum. Namun, sejatinya hukum hanyalah sebuah alat/media neraca dosa imajinatif belaka, manusialah sendiri yang menentukan mau dibawa ke arah mana.

Para artis Nagaswara dalam artikel “Sering Dilanggar Pengusaha Karaoke, Apa Sih Mechanical Right Itu?” ©KapanLagi.com/Agus

Kesimpulan, penulis ingin berpesan kepada anda para pemuda, bahwasannya inspirasi dan plagiasi merupakan sebuah hal yang sangat berbeda. Bijaklah dalam membedakan kedua hal ini. Untuk mengatasi permasalahan yang tertulis di atas dibutuhkan kesadaran diri. Kesadaran diri adalah kunci keseimbangan antara hak dan kewajiban tiap individu. Hal ini akan berbuah manis pada sebuah sikap positif, di mana seseorang menghindari tindakan plagiarisme karena kesadaran diri bahwa itu merugikan individu/kelompok, bukan dikarenakan ketakutan akan sanksi hukum. Menurut penulis dari sinilah sebuah hukum akan hal ini dapat terbentuk/terproduksi dengan matang dan sempurna dikarenakan dalam prosesnya melibatkan kesadaran manusia seutuhnya.

Kreasi jelek yang terbungkus dengan kejujuran sungguh lebih baik daripada kreasi indah yang dibalut dengan dusta.

Akhir kata, sekarang sudah bukan zamannya berkompetisi, sekarang zamannya berkolaborasi, mari kita sinergikan hasrat jiwa membangun bangsa Indonesia.

Bye!

--

--

Idham Anantama Khalis
Idham Anantama Khalis

No responses yet