Konsep Utopis dalam Konten Video on Demand

Idham Anantama Khalis
6 min readFeb 26, 2024

--

Ilustrasi video on demand yang menjadi primadona baru hiburan masyarakat (sumber: Helios.id)

Media hiburan berupa audio visual adalah opsi utama bagi masyarakat di seluruh dunia untuk menghabiskan waktu senggang. Tidak peduli dari belahan dunia manapun, seluruh masyarakat pasti dapat dengan mudah menikmatinya. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam mengolah informasi dari media dengan format tersebut.

Kepeminatan masyarakat terhadap audio visual inilah yang mendorong orang-orang dan juga industri kreatif untuk semakin aktif dalam memproduksi karya-karyanya. Sehingga pada hari ini telah hadir berbagai konten dengan berbagai jenis bentuknya, dapat disesuaikan tayangannya sesuai selera penonton dalam layanan Video on Demand.

Media hiburan dengan konsep Video On Demand sebenarnya memiliki suatu hal yang menarik. Fakta menarik tersebut terletak pada topik dan tema yang termuat di dalamnya. Tema yang diangkat oleh produser-produser terkesan serupa satu sama lain secara kontekstual.

Topik dan tema yang diangkat pada sebagian besar konten dalam Video On Demand merupakan cermin keterbalikan dari realitas sosial.

Entah sebuah kesengajaan atau memang terjadi secara alami, hampir seluruh bangsa dengan berbagai macam latar belakang budaya memiliki keseragaman dalam penentuan tema kunci konten audio visual-nya. Sebagai contoh, Korea Selatan. Korea Selatan memiliki satu tema yang khas pada beberapa konten K-Dramanya, yakni tema percintaan manis nan harmonis. Dalam kontennya, mereka memaparkan kehidupan paling ideal berdasarkan perspektif duo sejoli yang saling melengkapi dengan dalih cinta sejati. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, kehidupan ideal tersebut nyatanya tidak pernah terjadi (baca: tidak selalu) dalam realitas sosial.

Romantic Comedy Korean Drama (credit: imdb.com)

Satu hal menarik dari K-Drama adalah pada realita kehidupan masyarakat Korea Selatan itu sendiri yang justru sangat bertolak belakang dengan drama-dramanya. Sekalipun drama itu adalah drama paling popular dengan versi terbaiknya. Berdasarkan survei yang dilakukan Komnas HAM Korea Selatan pada tahun 2019, polisi mendakwa 9.895 orang dengan kejahatan pembunuhan dan pemerkosaan. Menurut Korea Woman’s Hotline 61,6% perempuan korea mengaku pernah mengalami kekerasan oleh pasangan.

Lembaga tersebut memberikan analisis bahwa satu perempuan dibunuh atau hampir dibunuh (setidaknya) setiap 1,8 hari sepanjang tahun 2019.

Ilustrasi penerbangan dari Korea Selatan ke Amerika Serikat (sumber: alamy)

Dengan bergeser dari Korea Selatan ke barat sejauh 10.751 KM akan didapatkan juga contoh lain yang tak kalah menarik. Lokasi yang menjadi destinasi dari perjalanan panjang ini adalah Amerika Serikat. Tidak jauh beda dengan Korea Selatan, Amerika Serikat juga memiliki satu konsep dalam penentuan tema hiburan-hiburan audio visual-nya. Sebagian tema yang termuat dalam kotennya tidak lain ialah kisah detektif dan superhero. Kehadiran detektif serba bisa dan juga pahlawan super mahakuat merupakan definisi absolut dari kehidupan ideal warga Amerika. Dari sini muncul satu pertanyaan,

“apa yang membuat masyarakat ini sebegitu mendambanya pada tokoh penumpas kejahatan tersebut?”

Avengers (sumber: Lithub)

Jawabannya tidak jauh dari realitas sosial di sana. Hampir setiap hari masyarakat amerika mendapati film kriminal dengan episode-episode baru. Serunya, film tersebut dinikmati secara POV (Poin of View) dengan mode “dunia nyata”. Begitu banyak kasus penembakan yang terjadi di Amerika Serikat. Hasil riset dari Gun Violence Archive mencatat lebih dari 21.000 orang tewas atau terluka pada tahun 2022.

Tingkat kriminalitas yang sangat tinggi tersebut kemudian menuntun masyarakat untuk melahirkan tokoh pahlawan super sebagai agen penyempurna kehidupan mereka secara imajiner.

Ilustrasi kehidupan di Jepang (sumber: The Borgen Project)

Contoh ketiga adalah negeri matahari terbit, Jepang. Kultur popular Jepang justru sudah lebih dulu melesat daripada Korea Selatan. Jepang dapat dikatakan sebagai sesepuh kalcer. Produk hiburan dari Jepang yang mendunia meliputi musik, manga, anime, dan tentunya drama.

Serupa dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat, Jepang juga memiliki racikan yang khas pada tema-tema konten Audio Visual-nya. Percintaan merupakan kata kunci dari sebagian besar anime/drama Jepang. Akan tetapi, beberapa kisah cinta yang termuat di dalamnya terkadang memiliki kesan amoral dan tidak logis.

Poster SUZUME NO TOJIMARI (sumber: suzume-tojimari-movie.jp)

Sebagai contoh ialah drama Live Action yang berjudul “Great Teacher Onizuka” yang secara halus mewajarkan hubungan siswa dengan guru lebih jauh dari sekadar kegiatan belajar mengajar. Selain itu, anime movie yang berjudul “Suzume no Tojimari” juga memiliki kisah yang lebih aneh lagi, yaitu mengisahkan hubungan seorang gadis sekolah dengan seorang pria dewasa. Hubungan tersebut diperhalus dengan kekompakan mereka dalam menyelesaikan sebuah misi berat penyegelan cacing purba di bawah tanah Jepang. Kerjasama yang kompak tersebut menciptakan kesan seolah-olah tokoh tersebut merupakan sahabat sejati, padahal suasana hangat dan intim cukup terpampang jelas dalam beberapa adegannya. Walaupun kesan percintaannya terasa terang, akan tetapi penonton movie tersebut tidak bisa menghakimi lebih dalam karena terdapat sebuah catatan dari studio produksinya yang berbunyi,

“It should be noted that this is not a romance movie” -IMDb

Namun demikian, satu hal yang menjadi persoalan adalah ketika produser dari movie Suzume yang bernama Koichiro Ito ditangkap oleh kepolisian prefektur Wakayama pada Rabu 21 Februari 2024. Koichiro Ito ditangkap karena kasus pedofilia. Kasus tersebut benar-benar mematahkan disclaimer atas film yang telah diproduksinya.

Lebih jauh membahas dunia hiburan berformat audio visual dari Jepang, pastinya tidak luput untuk mengulik JAV (Japanese Adult Video). Layaknya adult video pada umumnya, JAV memuat adegan romantis dan intimate bak kisah cinta Pangeran Kerajaan Ngabrut dengan Cinderella Live Action — apabila sihir kecantikannya mampu bertahan, setidaknya hingga pukul 03:00 WEF (Waktu Eropa bagian Film). Beberapa kisah atau alur cerita pada drama tersebut merupakan kisah yang didambakan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini sangat wajar jika dilihat dari realitas sosial masyarakat Jepang yang sangat jauh dari kata “cinta”.

Hal tersebut dapat dilihat dari angka kelahiran yang rendah dan juga fenomena “pria herbivora”.

Ilustrasi dari Teori Kultivasi (sumber: ilustrasi dari Astri Dwi)

Dari ketiga contoh di atas dapat disimpulkan bahwa hiburan dengan format Audio Visual justru menampilkan cerminan keterbalikan dari realita yang sedang terjadi di dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Tema-tema yang terdapat dalam konten-konten tersebut sengaja diciptakan untuk mempengaruhi persepsi individu terhadap realitas sosial. Hal tersebut selaras dengan gagasan George Gerbner mengenai “Teori Kultivasi”.

Ketika suatu individu semakin banyak terpapar pada konten audio visual tertentu, maka semakin besar baginya untuk memandang dunia dan mengamini hal serupa yang termuat/dipresentasikan dalam media tersebut (Davina, 2020).

Tidak ada salahnya untuk kembali skeptis terhadap beberapa hal yang telah dibahas di atas. Benarkah kisah manis Drakor difungsikan untuk mengaburkan kisah gelap dalam realitas sosialnya? Begitu juga dengan kehadiran detektif jenius dan pahlawan super Amerika Serikat. Apakah tokoh tersebut dihadirkan untuk momong masyarakat yang setiap harinya diselimuti oleh rasa takut dan cemas dengan kriminalitas yang kerap terjadi di sekitar mereka. Serta kisah-kisah cinta dalam drama Jepang yang indah, menarik, dan (terkadang) sedikit mengangkangi logika itu juga untuk menyamarkan noda yang kian melebar di dalam realitas sosialnya?

Miniatur Nuestra Señora de las Mercedes yang memuat 17 ton logam mulia (sumber: OcCre)

Jika memang konsep-konsep tersebut benar difungsikan demikian, lantas bagaimana pandangan sosiologis tentang sebagian besar konten di Indonesia yang sering latah dalam menggaungkan kekayaan serta kehidupan glamor? Apakah hal ini menggambarkan secara jelas bahwa masyarakat Indonesia adalah sekumpulan orang miskin yang haus emas dan selalu ambisius untuk mendapatkan Nuestra Señora de las Mercedes? Tak lupa film-film bertemakan karma dan azab juga sangat popular di Indonesia. Apakah hal tersebut menggambarkan perilaku masyarakat Indonesia yang pendendam dan senang melihat penderitaan orang lain?

Pada hakikatnya, konten dengan segala bentuknya itu adalah sebuah hiburan bagi semua orang untuk dinikmati di waktu senggang. Sebuah hiburan sudah seyogianya bersifat ringan dan mudah dicerna oleh penikmatnya. Lagipula, orang konyol mana yang rela membuang waktu senggangnya untuk memikirkan realitas sosial di dalam film dan mencarikan solusi konkret untuk permasalahan seorang tokoh fiksi yang berasal dari suatu tempat entah berantah tersebut. Di hari minggu yang cerah, alih-alih duduk santai menikmati tayangan video sembari mengunyah tahu walik, malah mendapat tampolan vertigo di kepalanya — hehehe.

Terima kasih sudah membaca.

referensi:

  1. Ahmad Amin. Produser Suzume, Koichiro Ito Terjerat Kasus Prostitusi Anak. Sleman: Titip Jepang. 2024;
  2. Callula Davina, C. S. Hukum Pidana: Realita Gelap Dibalik Indahnya K-Drama. Malang: Himanika UB. 2020;
  3. Randy Wirayaudha. The Batman dan Sisi Kelam Kehidupan Nyata. Jakarta: Historia. 2022;
  4. Liputan6.com. Ketakutakan Warga Amerika Terhadap Kejahatan dan Kekerasan Mencapai Level Tertinggi. Jakarta: Liputan6. 2022;
  5. Reuters. Tingkat Kelahiran Capai Rekor Terendah, Populasi Jepang Makin Genting. Jakarta: VOA Indonesia. 2023.

--

--

Idham Anantama Khalis
Idham Anantama Khalis

No responses yet